Etika Bermedia Digital

Era digital saat ini memiliki karakteristik komunikasi global yang melintasi batas-batas geografis dan batas-batas budaya. Padahal setiap negara, setiap daaerah bahkan hingga setiap generasi memiliki etika tersendiri. 

Misalnya soal privasi, Masyarakat Indonesia tidak bermasalah untuk menceritakan tentang apa yang dideritanya, seperti penyakit atau sekedar untuk menunjukkan kehangatan suatu hubungan di media sosial, tetapi hal ini belum tentu nyaman dimata masyarakat individualistik (yaitu masyarakat yang lebih mementingkan diri sendirinya dan mengacuhkan isu yang tengah berkembang). Para orang tua bisa saja merasa biasa bahkan bangga bercerita tentang anak-anaknya, namun belum tentu anak-anaknya nyaman dengan kisah yang diceritakan oleh orang tuanya di media sosial. Begitu juga interaksi digital antar gender, dan antar golongan sosial lainnya. Semua akan memunculkan persoalan-persoalan etika. Artinya dalam ruang digital kita akan berinteraksi, dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultural tersebut, sehingga sangat mungkin pertemuan secara global tersebut akan menciptakan standar baru tentang etika.

Namun pertama-tama, kita harus tau apa Etika digital itu. Menurut Siberkreasi & Deloitte (2020), etika digital (digital ethics) adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari. Secara sistematis, Siberkreasi dan Japelidi telah berbuat untuk peningkatan kesadaran, sensitivitas, dan perilaku masyarakat melalui gerakan literasi digital. Mulai dari riset, kajian, rumusan kurikulum, kampanye, pelatihan, dan publikasi panduan-panduan literasi digital.

Pada dasarnya dengan media digital setiap orang (netizen) berpartisipasi dalam berbagai hubungan dengan banyak orang yang melintasi geografis dan budaya. Mereka menggunakan jejaring sosial, blogging, vlogging, game, pesan instan, mengunduh dan mengunggah serta membagikan berbagai konten hasil kreasi mereka sendiri. Mereka dengan berbagai cara membangun hubungan lebih jauh dan berkolaborasi dengan orang lain. Maka, segala aktivitas digital sampai di ruang digital dan menggunakan media digital sampai memerlukan etika digital. 


1. MEMAHAMI LITERASI DIGITAL
Literasi digital secara umum dianggap sebagai suatu keahlian dalam menggunakan internet dan media digital. Namun ada juga pandangan bahwa keahlian yang paling utama merupakan keahlian dalam penguasaan teknologi. Sedangkan literasi digital sendiri merupakan sebuah konsep dan praktik yang bukan sekadar menitikberatkan pada kecakapan untuk menguasai teknologi. Literasi digital sendiri juga lebih menekankan dalam keahian penggunaan media digital dala melakukan proses mediasi media digital yang dilakukan secara produktif. 

Jika kita memiliki keahlian literasi digital, kita tidak hanya mampu dalam mengoperasikan alat, tetapi juga bisa bermedia digital dengan penuh tanggung jawab. Tetapi untuk mengetahui sejauh mana kita bisa mempunyai kecakapan dalam memediasi secara digital, kita juga harus memiliki alat ukur yang tepat. Berbagai gagasan mengenai kompetensi literasi digital kemudian ditawarkan oleh beragam organisasi baik komunitas maupun instansi pemerintah yang perhatian terhadap pengembangan literasi digital di Indonesia.

Berbeda dengan perumusan kompetensi literasi digital yang dilakukan oleh Japelidi, Tular Nalar dan BSSN yang berfokus pada kompetensi; Kominfo, Siberkreasi & Deloitte (2020) memberikan kerangka yang lebih besar dengan menawarkan empat area kompetensi yang terdiri dari: 
  • Digital Skills, yaitu kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital. 
  • Digital Culture, yaitu kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
  • Digital Etichs, yaitu kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquette) dalam kehidupan sehari-hari.
  • Digital Safety, yaitu kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan kesadaran keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari. 
2. NETIKET BERMEDIA DIGITAL 
Menurut Pratama (2014: 383), dalam beraktivitas di internet, terdapat etika dan etiket yang perlu diikuti oleh pengguna. Keduanya wajib dipahami, ditaati, dan dilaksanakan oleh pengguna selama mengakses layanan internet. K.Bertens (2014: 470) mendefinisikan etika sebagai sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Berbeda dengan etiket yang didefinisikan sebagai tata cara individu berinteraksi dengan individu lain atau dalam masyarakat (Pratama, 2014: 471). Jadi, etiket berlaku jika individu berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain. Sementara etika berlaku meskipun individu sendirian. Hal lain yang membedakan etika dan etiket ialah bentuknya, etika pasti tertulis, misal kode etik Jurnalistik, sedangkan etiket tidak tertulis (konvensi).

Seperti yang kita tahu, tantangan dalam penerapan netiket sangatlah besar, karena etiket lebih erat kaitannya dengan kepribadian kita masing-masing, jadi tidak semua pengguna internet mentaati aturan tersebut. Namun sebenarnya, netiket bukanlah hal yang kompleks, asalkan logika dan common sense kita berjalan lancar, kita tidak akan kesulitan menerapkannya karena netiket berasal dari hal yang umum dan biasa yang layaknya kita lakukan dalam kehidupan bermasyarakat (Ess, 2014). Netiket ini juga erat kaitannya dengan penguasaan soft skill literasi digital yang merupakan bagian dari pengembangan diri yang harus kita miliki. Literasi digital adalah sebuah konsep yang mengarah pada mediasi antara teknologi dengan khalayak atau user untuk mempraktekkan teknologi digital secara produktif (Kurnia, 2017). Netiket ini juga sangat diperlukan untuk mengatur interaksi pengguna internet yang berasal dari seluruh dunia. 



3. WASPADA TERHADAP KONTEN YANG NEGATIF
Etika digital berfungsi sebagai prinsip-prinsip moral yang mengatur perilaku seseorang dalam melakukan aktivitas dengan media digital, membantu kita dalam membuat pilihan-pilihan tindakan yang benar dan sadar. Sehingga akhirnya, kita dapat berperilaku baik di dunia digital dan dapat melihat bahwa kita bisa membantu masyarakat secara positif. 

Etika digital berorientasi pada penciptaan “daya tahan digital”. Maksudnya, masyarakat memiliki kemampuan untuk mendapat manfaat positif dari kehadiran media digital. Daya tahan ini merupakan hasil kesatuan berbagai kompetensi literasi digital yang dimiliki.

Saat ini kita dapat memperoleh informasi dengan sangat mudah. Dengan bantuan gawai atau telepon seluler di genggaman yang terhubung internet, kita bisa mendapatkan berbagai informasi yang kita kehendaki maupun yang tidak kita kehendaki. Bahkan, jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia kalah banyak dibanding jumlah telepon seluler yang aktif digunakan. Menurut data We Are Social & Hootsuite, di bulan Januari 2020 sekitar 124% dari jumlah populasi di Indonesia, atau sekitar 338 Juta Pengguna secara aktif menggunakan telepon genggam seluler, yang bahkan kalah dengan jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia yang berjumlah 272,1 Juta Penduduk.

Selain itu dengan bantuan teknologi kita juga bisa menciptakan dan menyebarkan informasi ke banyak orang. Hal tersebut dipermudah setelah media sosial hadir di tengah kita. Media sosial adalah media yang memungkinkan penggunanya berpartisipasi dalam menerima dan mengirim informasi (Maning, 2016). Pengguna tidak hanya mengkonsumsi konten tetapi juga menciptakannya. Fasilitas untuk menciptakan konten ini yang menjadi kekhasan media sosial.

Media sosial membantu menghubungkan pengguna dengan pengguna lainnya secara luas. Tidak hanya mempertemukan teman-teman lama, namun juga teman-teman baru yang masuk ke dalam jejaring sosialnya. Pesan-pesan yang menghangatkan hubungan, seperti saling tegur sapa dan memberi kabar membuat media sosial menarik perhatian pengguna internet. Contohnya, Facebook pada awal diciptakan Mark Zuckerberg tahun 2004 sebagai media komunikasi pertemanan di Universitas Harvard. Kemudian Facebook diluncurkan ke masyarakat luas sehingga menjadi media sosial yang paling populer di dunia saat ini (Shalihah, 2020). Kesuksesan Facebook lalu diikuti oleh berbagai media sosial lainnya.

Konten negatif semakin banyak dengan semakin berkembangnya dunia digital yang tentunya menyasar para pengguna internet, termasuk di Indonesia. Konten negatif atau konten ilegal di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah melalui UU Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE)dijelaskan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian pengguna. Selain itu, konten negatif juga diartikan sebagai substansi yang mengarah pada penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan.

Konten negatif muncul karena motivasi-motivasi pembuatnya yang memiliki kepentingan ekonomi (mencari uang), politik (menjatuhkan kelompok politik tertentu), mencari kambing hitam, dan memecah belah masyarakat (berkaitan suku agama ras dan antargolongan/SARA) (Posetti & Bontcheva, 2020).

Salah satu contoh konten negatif adalah Hoaks. Hoaks sudah tidak lagi asing di telinga kita. Bahkan, pergerakan hoaks dipermudah oleh penggunaan media sosial yang masif oleh masyarakat. Menurut Utami (2018), pergerakan hoaks ditentukan oleh keberadaan media sosial. Sebelum ada media sosial, kontrol informasi ada di media massa sehingga ada pihak resmi yang menyaring isi informasi. Namun di era media sosial, kontrol informasi ini sepenuhnya ada di tangan masyarakat. Sayangnya kebebasan akses ini tidak diimbangi oleh kemampuan pengguna informasi. Supriatma (2017) mengatakan bahwa hoaks memanfaatkan masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan atau awam dalam mengelola informasi. 

Maraknya hoaks mendorong Masyarakat Telematika (Mastel) melakukan survei di tahun 2017 yang mengungkapkan bahwa dari 1.146 responden, 44,3% menerima hoaks setiap hari. Sedangkan 17,2% menerima lebih dari satu kali dalam sehari. Hoaks yang beredar di masyarakat juga datang dari media massa yang semestinya bisa menjadi acuan untuk menangkal penyebaran hoaks. Kini hoaks tersebar juga melalui situs web (34,90%), Whatsapp, Line, Telegram (62,80%), Facebook, Twitter, Instagram, dan Path (92,40%). Soal awam dalam mengenali hoaks nampaknya tercermin dalam sikap tidak kritis atas informasi yang diterima. 


Yang kedua ada yang namanya Perundungan di Dunia Maya atau yang kita lebih kenal sebagai cyberbullying. Cyberbullying dapat diartikan sebagai tindakan agresif dari seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain yang lebih lemah (secara fisik maupun mental), dengan menggunakan media digital. Tindakan ini tentunya bisa dilakukan terus menerus oleh yang bersangkutan yang bisa menyebabkan sang korban mengalami depresi secara mental.

Cyberbullying memiliki beberapa bentuk, antara lain :
  1. Doxing, yaitu mengintip dan memata-matai seseorang di dunia maya
  2. Revenge porn, yaitu membalas dendam melalui penyebaran foto/video intim/vulgar seseorang. Selain balas dendam, perundungan ini juga untuk memeras korban
Perundungan ini sering kita temui di dunia maya dan ini merupakan masalah serius bagi kesehatan dan keselamatan para pengguna internet. Menurut Polda Metro Jaya, tahun 2018 di Indonesia tercatat 25 kasus perundungan ini muncul di dunia maya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan terdapat 22,4% anak korban perundungan. Ditengarai hal ini terjadi karena tingginya penggunaan internet (Putra, 2019). Mengapa perundungan ini mencemaskan? Perundungan di dunia maya berpotensi semakin tinggi jika dibiarkan mengingat semakin tingginya penggunaan internet di Indonesia dari tahun ke tahun. Sehingga perlu dilakukan tindakan sedini mungkin. Salah satu caranya adalah dengan melakukan literasi digital ke masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja. Kekuatiran terhadap perundungan di dunia maya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional. Laporan tentang tingginya perundungan tanpa wajah, demikian disebutnya karena terjadi di dunia maya, dapat dilihat pada tulisan Dhiraj tentang negara-negara yang memiliki tingkat perundungan di dunia maya (2018). 

Hal ini menyebabkan Kominfo yang menjadi sangat meanruh perhatian terhadap penangkalan konten negatif di internet. Bahkan, sejak 28 Desember 2018, Kominfo menggunakan “AIS”, mesin pengais konten negatif di internet (Yuliani, 2018). Walau pemerintah sudah melakukan upaya penangkalan tersebut, namun garda terdepan dari penangkalan konten negatif di dunia digital adalah pada diri kita sendiri. Pemerintah dan masyarakat bisa bekerjasama dalam menanggulangi penyebaran konten negatif. 

Lalu yang terakhir ada ujaran kebencian atau yang mungkin kita kenal sebagai hate speech, yaitu ungkapan atau ekspresi yang menganjurkan ajakan untuk mendiskreditkan, menyakiti seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan membangkitkan permusuhan, kekerasan, dan diskriminasi kepada orang atau kelompok tersebut. 

Pada banyak kasus, hate speech ini dapat  membakar massa untuk melakukan kekerasan fisik terhadap sasaran dari ujaran tersebut. Penghasut membuat konten ujaran kebencian dengan sengaja mengubah fakta-fakta atau disinformasi. Kata-kata atau gambar, video, audio dipilih yang bersifat memojokkan kelompok atau seseorang. Konten tersebut bisa bertahan lama di dunia maya karena ada peran pengguna internet yang terhasut. Para pengguna ini akan meneruskan konten ini ke orang-orang lain, dan seterusnya menggelinding ke mana-mana, bahkan viral. Konten tersebut lalu dibicarakan di dunia nyata (offline) secara intensif, bahkan disertai provokasi. Jadi bermula dari hasutan yang terus-menerus di dunia maya, akhirnya dapat bermuara pada tindakan kekerasan fisik.


- Hazel Khairunnisa, kelas 8D absen 10

Comments

Popular Posts